Kamis, 23 Mei 2013

JAM (Jujur, Amanah, dan Malu): Tiga Indikator Keberagamaan Kita


Jujurlah kalian selalu, karena sesungguhnya kejujuran itu mengantarkanmu pada kebaikan, dan kebaikan itu sesungguhnya mengantarkanmu menuju surga. Sedang dusta hanya akan mengantarkanmu pada keburukan dan dosa, dan sesungguhnya dosa itu mengantarkanmu menuju neraka
(HR Bukhori dan Muslim)
Kejujuran adalah kebijakan yang paling baik
(Benyamin Franklin)
Kejujuran adalah bab pertama dalam buku kebijaksanaan
(Thomas Jefferson)

***

Pada hari Jum’at, tanggal 29 Maret 2013, alhamdulillah saya dapat ikut shalat Jum’at di masjid dekat rumah, yakni Masjid Al Mujahidin. Menarik untuk menuliskan kembali dan memberikan sedikit tambahan tentang materi khutbah Jum’at kali ini.
Materi khutbah saat itu cukup baik dan kontekstual, yakni mengenai berbagai masalah kehidupan yang dihadapi bangsa dan masyarakat pada saat ini. Diumumkan oleh takmir masjid bahwa khatibnya berasal dari Kementerian Agama. Materi kutbah disampaikan dengan nada suara  yang cukup lembut, dan kadang-kadang dilanjutkan dengan nada yang cukup tegas. Pendek kata, para jamaah kelihatan cucup tekun dalam mengikuti kutbah Jum’at ketika itu.
Memang tidak ada materi khutbah yang diberikan secara tertulis kepada para jama’ah. Itulah kebiasaan yang belum berubah seccara turun temurun. Padahal ringkasan materi kutbah itu sebenarnya dapat ditulis dalam satu lembar kertas, dan dengan demikian dapat menjadi bacaan ringan saat duduk-duduk dengan keluarga di rumah. Bukankah dengan demikian kita dapat itut meningkatkan budaya baca melalui masjid? Dengan membaca kembali khutbah yang diberikan secara tertulis, maka pemahaman para jamaah tentang isi khutbah itu menjadi lebih mendalam lagi.
Materi kutbah saat itu adalah mengenai tiga indikator keberagamaan kita. Tiga indikator keberagamaan tersebut sebenarnya merupakan tiga pilar karakter yang sudah sering kita dengarkan dalam berbagai acara ceramah atau pengajian yang sering kita ikuti, yakni malu, amanah, dan jujur. Untuk kepentingan tulisan singkat ini, uruatannya sengaja saya ubah menjadi jujur, amanah, dan malu. Bukan berdasarkan faktor penting tidaknya pilar karakter itu, tetapi semata-mata agar mudah dibuatkanmnemonik atau titian ingatan, atau jembatan keledai, atau akronimnya untuk memudahkan kita mengingat substansi kutbah tersebut. Itulah sebabnya judul tulisan singkat ini saya buat menjadi JAM, yakni singkatan dari JUJUR, AMANAH, dan MALU, yakni tiga indikator yang menjadi ukuran apakah kita dapat disebut sebagai umat yang beragama dengan baik atau belum.
Jujur
Jujur merupakan salah satu pilar karakter Nabi Muhammad. Rasulullah SAW dikenal sebagai seorang yang jujur, atau fathonah. Bukan hanya jujur dalam sikap, tetapi juga dalam segala tindakannya. Dalam hal ini, sangatlah mustahil jika Nabi itu bersifat pembowong atau kizzib atau dusta. Dalam Surat An Najm (4 – 5), Allah SWT berfirman:
وَمَا يَنطِقُ عَنِ ٱلْهَوَىٰٓ
Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya.
إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْىٌۭ يُوحَىٰ
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.
Karena kejujurannya itulah Rasulullah patut menjadi suri tauladan kita semua umat Islam. Bahkan, orang di luar Islam, namanya Michael H. Hart, dalam bukunya betajuk “The 100: A Rangking of the Most Influential Persons in History”, telah meletakkan Rasulullah SAW sebagai manusia yang paling berpengaruh di muka bumi di antara 100 orang yang paling berpengaruh dalam perjalanan sejarah umat manusia. Beliau mempunyai perilaku dan akhlak yang sangat mulia, tanpa membedakan manusia dari status sosial, warna kulit, suku bangsa atau golongan. Beliau selalu berbuat baik kepada siapa saja bahkan kepada orang jahat atau orang yang tidak baik kepadanya. Oleh kerana itu tidak mengherankan jika dalam Al-Quran beliau disebut sebagai manusia yang memiliki akhlak yang paling agung.
Sayang sekali, dewasa ini kehidupan masyarakat dan bangsa kita, yang secara mayoritas  mengaku sebagai umat Islam, telah digerogoti oleh virus korupsi yang konon dapat dikatakan sudah mencapai stadium keempat. Tidak ada satu aspek kehidupan yang bebas dari virus korupsi ini. Mulai dari olah raga, bahan sembako makanan berupa daging, bawang merah, sampai denga parkir mobil pun sudah terkena virus tersebut. Dengan nada geram, Khatib pun menyebutkan bahwa sampai dengan urusan pencetakan kitab suci pun sudah terkena pula virus korupsi ini.
Itulah sebabnya, khatif telah mengingatkan kepada kita semua untuk dapat menghidupkan kembali sifat jujur yang menjadi salah satu dari empat sifat Rasulullah SAW.
Amanah
Pilar karaktekter amanah juga merupakan salah satu dari karakter yang dimiliki oleh junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW. Nabi kita dikenal sebagai seorang yang sangat amanah. Diceritakan oleh khatib, pada zaman Rasulullah SAW, konon ada seorang penggembala biri-biri di padang pasir jazirah Arab. Dia didatangi oleh sekelompok penjahat yang akan mengambil biri-biri itu dari penggembala. Maka dibujuk-rayulah pengembala itu. “Hei penggembala, dapatkah saya minta biri-birimu itu?”. “Oh tidak,ini biri-biri bukan milik saya, tetapi milik tuan kami. Karena itu, saya tidak dapat memberikan biri-biri ini kepada tuasn”. Demikian jawab penggembala biri-biri itu. Para penjahat itu pun belum berhenti membujuk penggembala, “Bukankah akan sangat mudah, jika kamu bisa memberitahukan kepada tuanmu bahwa biri-biri itu telah diterkam serigala atau binatnag buas yang lain”, bujuknya. Namun penggembala bersikukuh tidak memberikan biri-biri itu kepada para penjahat. Walhasil, penggembala itu dikenal sosok yang sangat amanah dalam menggembala biri-birinya.
Sifat amanah juga menjadi salah satu dari empat sifat Rasulullah SAW yang harus kita teladani. Amanah bermakna benar-benar boleh dipercayai. Jika satu urusan diserahkan kepadanya, nescaya semua orang percaya bahwa urusan itu akan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Oleh kerana itulah maka penduduk Mekkah member gelar kepada  Nabi Muhammad SAW sebagai ‘Al-Amin’ atau ‘terpercaya’. Gelar ini diberikan kepada Muhammad SAW jauh sebelum beliau diangkat jadi seorang Rasul. Apa pun yang beliau ucapkan dan laksanakan, dipercayai dan diyakini penduduk Mekkah karena beliau terkenal sebagai seorang yang tidak pernah berdusta.
Sama dengan sifat jujur, sifat amanah pun dalam kehidupan negeri kita ternyata telah menjadi barang yang langka. Mulai dari “kalangan alit” sampai dengan “kalangan elit”, sebagian besar telah terjangkit virus dalam kehidupan yang fana ini.
Malu
Malu adalah sebagian dari iman. Ini hadist yang sangat sering kita dengar dalam percakapan sehari-hari. Tetapi entah apa dan bagaimana, banyak di antara kita yang sudah tidak punya malu lagi. Sifat jujur dan sifat amanah sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Nabi telah semakin menipis, bahkan nyaris hilang dalam kehidupan. Hilangnya kedua sifat itu pun juga tidak membuat malu. Artinya, rasa malu pun sudah hilang pula sebagai salah satu indikator keberagamaan kita. Dengan demikian, yang perlu dipertanyakan dalam hal ini adalah “masihkah kita dapat disebut sebagai manusia yang beragama?”
Refleksi
Refleksi artinya mengaca diri. Materi khutbah Jum’at kali ini diharapkan dapat menjadi kaca bening yang dapat kita gunakan untuk mengaca diri. Masihkah kita memiliki ketika indikator tersebut? Masihkah jujurkah diri kita? Jujur kepada diri sendiri, jujur kepada istri, anak, dan keluarga, serta bahkan jujur kepada warga masyarakat dan bangsa kita. Hanya Allah SWT dan diri kita sendirilah yang obyektif dalam menilai kejujuran diri kita sendiri.
Masihkah kita amanah dalam mengemban tugas dan kewajiban dalam kehidupan ini? Amanah memegang janji yang telah kita ucapkan? Janji kepada diri sendiri, janji kepada keluarga, juga janji kepada semua pihak dalam kehidupan ini. Hanya Allah SWT dan diri kita sendirilah yang obyektif dalam menilai.
Kemudian, masihkah kita masih memiliki malu? Ataukah wajah kita ternyata telah seperti pepatah “bak cermin kaca dibelah”. Ternyata, wajah kita sudah demikian rusak seperti potret yang dapat kita lihat sendiri seperti potret dalam kaca yang terbelah tersebut. Wallahu alam bishawab. Juga hanya Allah SWT dan diri kita sendirilah yang menjadi juri obyektif yang dapat menilainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar